BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pengemis perkotaan adalah fenomena yang mulai
dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya
permasalahan sosial ekonomi dan politik yang ditimbulkannya. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu, diantara beberapa pemicu
yang lain, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya
urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang
identik dengan kemiskinan perkotaan.
Salah satu perkotaan yang diminati oleh orang-orang
desa untuk didatangi yaitu Kota Bandung. Karena Kota Bandung adalah salah satu
kota yang bisa menjanjikan suatu pekerjaan yang layak karena orang-orang
Bandung mempunyai tingkat keramahan yang cukup tinggi serta di Kota Bandung pun
terdapat tempat-tempat wisata, perkantoran, dan gedung-gedung yang bisa menawarkan
pekerjaan yang layak.
Kemudian dengan adanya krisis berkepanjangan yang tak
kunjung menemui jalan terang untuk keluar dari krisis, telah membuat pengemis
menjadi salah satu profesi yang paling favorit dijalankan oleh orang-orang yang
tidak memiliki pekerjaan tetap, mereka yang tak kunjung mendapat pekerjaan,
ataupun mereka yang menjadi korban pemberhentian kerja sepihak.
Tetapi kenyataannya dengan terlalu banyaknya
orang-orang daerah yang datang ke Bandung serta susah mendapatkan pekerjaan
maka sebagian dari mereka memilih untuk bekerja sebagai pengemis karena
pekerjaan ini sangat mudah dan bisa mendapatkan uang untuk kehidupan
sehari-hari mereka. Hal ini bahkan dijadikan mereka sebagai “profesi”.
Pengemis dalam pandangan masyarakat umum, adalah
manusia tidak berguna, bahkan dianggap “sampah masyarakat”, seperti dilaporkan
hasil penelitian Bappeda DKI Jakarta. Pada penelitian tersebut ditunjukkan
bahwa pengemis diperkotaan pada umumnya memiliki harta di desanya, tapi mereka
ingin mencari nafkah dengan cara mudah.
Mereka berlatar belakang pendidikan tidak tamat
Sekolah Dasar dan lebih banyak yang tidak sekolah; bertempat tinggal liar dan
pada lingkungan yang tidak sehat; tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP);
mengkonsumsi makanan alakadarnya, dan mobilitas spasial rendah (hanya dalam
kota). Selain itu mereka memiliki tingkat partisipasi budaya yang juga rendah,
aspirasi dan aktivitas politik sangat rendah, dan berorientasi jangka pendek,
serta potensi sumber daya manusia diberi sebutan “sampah masyarakat”. (Engkus,
Bandung : April 2009)
Pengemis adalah sebutan bagi “penyandang masalah kesejahteraan sosial”,
diantara sebutan-sebutan lain, seperti gelandangan, anak jalanan, anak
terlantar, balita terlantar,dan sebagainya. Selama ini masalah sosial tersebut
tidak kunjung dapat diatasi, atau paling tidak dikurangi. Seiring dengan
kemiskinan dan tidak meratanya kesejahteraan secara ekonomi maupun sosial,
jumlah pengemis tidak kunjung surut, malah semakin merebak.
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta
di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan
dari orang lain. Seharusnya pengemis adalah orang yang benar-benar dalam
kesulitan dan mendesak karena tidak ada bantuan dari lingkungan sekitar dan dia
tidak punya suatu keahlian yang memadai, bukan karena malas untuk mencari mata
pencaharian layak lain.
Para pengemis boleh jadi memakai baju kumal dan compang camping, tangan atau
kaki diperban, jalan tersoak-soak, suara memelas, dan sebagainya, yang
disengaja diciptakan untuk menarik dan “menjatuhkan hati” dermawan untuk
memberikan sedekah. Tidak jarang juga mereka memanfaatkan keterbatasan fisik
yang sesungguhnya (misalnya karena tuna netra) untuk mendukung penampilan dalam
menjalankan “profesi” mereka. Akan tetapi bukan tidak mungkin bahwa diantara
mereka terdapat pengemis-pengemis yang menampilkan front stage untuk
menciptakan kesan seperti yang mereka harapkan, tetapi mereka harus mengalami
konflik batin dengan penampilan mereka di belakang itu (back stage).
Sebab diantara pengemis ada yang juga pelajar, ibu rumah tangga, atau bekerja
di sawah ladang yang terpaksa mengemis.
Konsep diri menurut William D Brooks yang dikutip oleh
Rakhmat dalam buku psikologi komunikasi adalah:
“Those physical, social and phsyccological perceptions of ourselves that we have derived from experience and our interaction with others (1974: 40).
Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi
tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis. (Rakhmat, 2009:99)
Dilihat dari pengertian konsep diri, seorang pengemis
sadar akan jenis kelaminnya, bahkan merekapun (pengemis) mengetahui benar
bagaimana mereka berpenampilan. Meskipun mereka (pengemis) menyadari bahwa
penampilan mereka yang sperti itu yaitu kotor atau compang-camping, akan tetapi
mereka (pengemis) menerima diri mereka (pengemis) dengan dengan penuh
kepercayaan.
Dalam hal ini, akan muncul proses yaitu proses komunikasi. Proses komunikasi
adalah proses penyampaian pesan yang dilakukan oleh seorang komunikator kepada
komunikan, pesan itu bisa berupa gagasan, informasi, opini dan lain-lain.
Dimana pengemis sebagai komunikator yaitu orang yang menyampaikan pesan
sedangkan yang menjadi komunikannya ialah calon dermawannya yaitu orang yang
menerima pesan dari seorang komunikan (pengemis).
Kepribadian seseorang sudah ada dalam diri masing-masing, tetapi
pemikiran-pemikiran yang muncul dari luarpun akan membentuk kepribadian
seseorang. Begitu juga dengan pengemis. Begitu pula dengan pengemis yang juga
mempunyai kepribadian, dan kepribadian tersebut juga bisa dipengaruhi oleh
orang-orang yang ada disekitar mereka (pengemis) termasuk calon dermawan.
Pengemis memang beragam, ada yang menjadikan itu sebagai profesi sehingga
mereka mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Ada yang malas bekerja, tidur ketika
ingin tidur, mengemis ketika tidak ada uang untuk membeli makanan dan
marah-marah apabila diberi uang recehan di bawah nominal Rp 500,00.
Selain itu sebetulnya pemberian uang pada pengemis/pengamen/pengelap kaca mobil
merupakan pelanggaran peraturan daerah setempat. DKI Jakarta mempunyai Perda
Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum pasal 40 c yang menyebutkan bahwa
setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada
pengemis, pengamen dan pengelap mobil. Pelanggar pasal tersebut dapat dikenai
ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau
denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.1 Mengemis
ternyata juga tidak hanya dapat dilakukan sendiri. Mereka dapat melakukannya
dengan keluarga ataupun teman mereka. Seperti misalnya mereka yang buta,
kebanyakan selama mengemis mereka dibimbing dan dituntun saat berjalan oleh
rekan mereka yang menemani.
Mengemis pun saat ini sudah menjadi pekerjaan di setiap umur. Dari mulai
anak-anak, hingga mereka yang tua renta menjalani profesi yang sama, mengemis.
Bahkan tak jarang sekarang kita temui segerombolan pengemis anak-anak ataupun
ibu-ibu yang mengemis sambil menggendong anak berusia balita.
Terkadang masyarakat tidak suka dengan keberadaan pengemis. Bukan karena calon
dermawan tidak ingin berbagi rezeki dengan mereka tetapi beberapa pengemis ada
yang menggunakan hasil minta-minta mereka dengan hal-hal yang tidak penting,
seperti mengkonsumsi narkoba, minuman beralkohol dan lain-lain. Adapula
pengemis yang meminta sedekahnya dengan cara memaksa dan jika si pengemis tidak
diberi uang maka si pengemis pun akan marah-marah sendiri karena kecewa tidak
diberi uang.
Pengemis juga sering dituduh sebagai manusia yang
mengganggu ketenangan manusia lain dan bahkan meresahkan, seperti diungkapkan
pada laporan penelitian Waysima:
“Dari sekian banyak fenomena yang ditunjukkan
masyarakat yang sedang dilanda krisis di berbagai macam sisi kehidupan, ada
masalah sikap dan perilaku anak-anak usia sekolah yang terpaksa atau dipaksa
kehidupan untuk berlaku sebagai „pengamen‟ atau pengemis terutama di angkot di
Kota Bogor (diperkirakan juga terjadi di kota-kota lain) yang menarik untuk
dibahas. Bila pada awalnya mereka terpaksa atau dipaksa melakukannya karena
kehidupan ekonomi keluarganya mengalami perubahan, maka perlahan-lahan kondisi
kehidupan yang tidak juga menberikan cahaya perbaikan membawa mereka untuk
terbiasa dengan kehidupan sebagai „pengamen‟ atau pengemis bahkan mungkin
sebagian dari mereka telah menikmatinya. Kenikmatan yang diperoleh telah
memadamkan semangat untuk berusaha, semangat untuk hidup lebih baik, semangat
untuk mau bekerja apalagi bekerja lebih. Keluarga lebih membuka peluang bagi
anak-anaknya untuk mau bekerja apalagi bekerja lebih. Keluarga lebih membuka
peluang bagi anak-anaknya untuk bekerja sebagai pengemis, pengamen di angkot
dan di kalanan daripada menyediakan waktu untuk pergi sekolah. Kemampuan anak
menghasilkan uang dari kegiatan ngamen atau mengemis membuat orangtua enggan
menyekolahkan anak-anaknya.” (Engkus, Bandung, April : 2009)
Bahkan Hal ini menjadi dilema yang berkepanjangan. Pemerintah sendiri juga
sudah menetapkan dua aturan pokok dalam KUHP yang mengatur tentang pengemis.
Fakta berbicara bahwa perbuatan mengemis dan menggelandang adalah perbuatan
pidana dan terancam mendapatkan hukuman penjara paling lama 6 (enam) minggu
(untuk mengemis sendirian) dan 3 (tiga) bulan penjara untuk perbuatan
menggelandang. Adapun pasal-pasal tersebut adalah
Pasal 504.
(1) Barangsiapa mengemis di muka umum, diancam karena
melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.
(2) Pengemisan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga
orang atau lebih, yang masing-masing berumur di atas enam belas tahun, diancam
dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (KUHP 45.)
Pasal 505.
(1) Barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata
pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan.
(2) Pergelandangan yang dilakukan bersama-sama oleh
tiga orang atau lebih, yang masing-masing berumur di atas enam belas tahun,
diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. (KUHP 35.)
Melihat dari undang-undang di atas, tampak cukup berat dan banyak apabila pemerintah harus melaksanakan dan menerapkan aturan tersebut. Namun, pada kenyataannya, aturan ini pun tidak dilaksanakan dan diterapkan oleh pemerintah.
Melihat dari undang-undang di atas, tampak cukup berat dan banyak apabila pemerintah harus melaksanakan dan menerapkan aturan tersebut. Namun, pada kenyataannya, aturan ini pun tidak dilaksanakan dan diterapkan oleh pemerintah.
Komunikasi tentunya menjadi hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-hari. Baik konteksnya untuk mengobrol dengan orang lain, berinteraksi
dengan orang lain bahkan menyatukan suatu pandangan. Melalui komunikasi kita
menjadi tahu apa yang orang lain inginkan dan pikirkan.
Komunikasi yang terjalin tentunya komunikasi yang efektif dimana pesan yang
kita sampaikan tepat sasaran dan tidak berbelit-belit, partner berbicara kita
mengerti apa yang kita bicarakan dan mereka memberikan feedback dan kita
mengharapkan tidak terjadinya kesalah pahaman, pertengkaran serta kondisi
sosial.
Karena pengemis adalah manusia dan manusia merupakan makhluk sosial yang selalu
berinteraksi dengan manusia lainnya, serta manusia tidak bisa hidup sendirian
dan harus hidup bersama dengan manusia lainnya, baik demi kelangsungan
hidupnya, keamanan hidupnya, maupun dari keturunannya. Jelasnya, manusia harus hidup
bermasyarakat. Dalam pergaulan hidup manusia dimana masing-masing individu satu
sama lain beranekaragan itu terjadi interaksi, saling mempengaruhi demi
kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Maka dari itu manusia
membutuhkan suatu cara yang disebut komunikasi untuk berinteraksi dengan
sesamanya baik secara personal, kelompok, organisasi, massa, maupun lintas
budaya.
Berbagai kajian dapat digunakan untuk mengungkapkan fenomena pengemis. Salah
satunya adalah kajian komunikasi. Suatu kehidupan yang unik dan dapat menjadi
suatu budaya yang khas, dapat ditinjau dari proses interaksi simbolik di antara
mereka. Para pengemis yang terikat dan berinteraksi dengan sesamanya dapat
menunjukkan karakteristik yang unik dan berinteraksi dengan sesamanya dapat
menciptakan dunianya sendiri, struktur sosialnya sendiri, termasuk dunia simbol
dan proses komunikasinya. 9
Pendekatan interaksi simbolik sebagai suatu pendekatan
komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana fenomena pengemis
berinteraksi dengan calon dermawannya. Apa yang ditampilkan oleh pengemis untuk
mendorong calon dermawan menyerahkan sedekahnya, melalui interaksi yang terjadi
penuh dengan simbol-simbol yang khas.
Salah satu interaksi simbolik yang pengemis lakukan yaitu Pengungkapan melalui
raut muka pengemis misalnya, mengungkapkan bentuk kesusahan yang dialaminya
bahkan menunjukkan penderitaan yang bertubi-tubi. Engkus Kuswarno dalam
bukunya metode penelitian komunikasi fenomenologi, mengatakan bahwa:
“Ekspresi wajah memelas, sedih, kuyu tampaknya sengaja dilakukan pengemis untuk memberi kesan dia sedang kesusahan dan karenanya layak untuk diberi sedekah”.(Kuswarno, 2009:226)
Dari wacana di atas yang sudah dipaparkan, dapat
ditarik sebuah permasalahan tentang interkasi simbolik, konsep diri, proses
komunikasi dan kepribadian dari pengemis. Interaksi simbol apa saja yang mereka
tampilkan sebagai pengemis, interaksi simbol yang bagaimana yang mereka
siratkan dalam penampilan mereka dan bagaimana kepribadian dari pengemis.
Mengangkat pembahasan tentang pengemis menarik untuk diteliti karena pengemis
merupakan sebuah fenomena yang ada dimasyarakat.
Harapan peneliti dalam mengangkat masalah ini kedalam
penelitian, karena pengemis merupakan suatu fenomena yang menarik dan ada dalam
realitas kehidupan ini, fenomena interaksi simbolik tersebut diharapkan dapat
mengetahui cara berkomunikasi terutama secara simbolik yang dilakukan pengemis,
sehingga bisa membuat kesan positif dihadapan dermawan yang memberikan sebagian
dari rezekinya. Karena mempelajari interaksi simbolik tidak ada habisnya,
sehingga dari permasalahan ini diharapkan dapat mengetahui lebih jauh dan lebih
mendalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis
Ada tiga cara penanggulangan gelandangan dan pengemis yang selama ini dilakukan
pemerintah, yaitu melalui usaha-usaha preventif, represif, dan rehabilitatif.
Adapun tujuan dari penanggulangan gelandangan dan pengemis adalah agar tidak
terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat
pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat dan memasyarakatkan kembali
gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri,
serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki
kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang
layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
Adapun yang dimaksud dengan usaha preventif adalah usaha secara terorganisir
yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan dan pendidikan, pemberian bantuan,
pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya
dengan pergelandangan dan pengemisan. Usaha preventif dimaksudkan untuk
mencegah:
a). Pergelandangan
dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga, terutama yang sedang
berada dalam keadaan sulit penghidupannya.
b). Meluasnya
pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat
yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya.
c). Pergelandangan
dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah
direhabilitasi dan telah ditrasmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun
telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
Sementara itu usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir dimaksudkan
untuk mengurangi atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik
kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan
dan pengemisan. Usaha represif ini dilakukan dengan razia, penampungan
sementara untuk diseleksi, dan pelimpahan gelandangan dan pengemis ke panti
rehabilitasi.
Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang meliputi
usaha-usaha penyantunan, pemberian pelatihan dan pendidikan, pemulihan
kemampuan dan penyaluran kembali, baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui
transmigrasi, maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan
lanjut sehingga dengan demikian gelandangan dan pengemis kembali memiliki
kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai
Warganegara Republik Indonesia.
B. Manfaat dan Mudarat
Dengan adanya gelandangan dan pengemis yang berada di tempat umum akan
menimbulkan banyak sekali masalah sosial di tengah kehidupan bermasyarakat di
antaranya:
a. Masalah
lingkungan (tata ruang)
Gelandangan dan
pengemis pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tinggal di wilayah
yang sebanarnya dilarang dijadika tepat tinggal, seperti : taman taman, bawah
jembatan dan pinggiran kali. Oleh karena itu mereka di kota besar sangat
mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat dan kebersihan serta
keindahan kota.
b. Masalah
kependudukan
Gelandangan dan pengemis
yang hidupnya berkeliaran di jalan dan tempat umum, kebanyakan tidak memiliki
kartu identitas (KTP/KK) yang tercatat di kelurahan (RT/RW) setempat dan
sebagian besar dari mereka hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan
perkawinan yang sah.
c. Masalah keamanan
dan ketertiban
Maraknya
gelandangan dan pengemis di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial
mengganggu keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.
d. Masalah
kriminalitas
Memang tak dapat
kita sangka banyak sekali faktor penyebab dari kriminalitas ini di lakuakan
oleh para gelandangan dan pengemis di tempat keramaian mulai dari pencurian
kekerasan hingga sampai pelecehan seksual ini kerap sekali terjadi.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng ádalah faktor internal, yaitu
individu dan keluarga Gepeng serta masyarakat , dan eksternal masyarakat,
yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini dapat
terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi
antara satu faktor dengan faktor yang lainnya;
Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di dalam
diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan
kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut ádalah : (i)
kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan lahan yang terbatas
dan tidak produktif, keterbatasan penguasaan aset produktif, keterbatasan
penguasaan modal usaha; (ii) umur; (iii) rendahnya tingkat pendidikan formal;
(iv) ijin orang tua; (v) rendahnya tingkat ketrampilan (“life skill”) untuk
kegiatan produktif; (vi) sikap mental; dan
Faktor-faktor eksternal mencakup: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi
pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap
informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi)
kelemahan pananganan Gepeng di kota.
B. Saran
Penanganan masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Kota Makassar tidak
dapat dilepaskan dari penanganan kemiskinan itu sendiri, terutama jika dilihat
dari sudut pandang daerah asal Gepeng. Memang, kemiskinan bukanlah satu-satunya
penyebab terjadinya kegiatan menggelandangan dan mengemis tetapi bisa juga
menjadi akar penyebab. Oleh karena itu, beberapa alternatif pemecahan masalah
yang berkenaan dengan penanganan Gepeng dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:
(i) kondisi di daerah asal; (ii) kondisi di luar daerah asal.
Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal
sehingga mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari
penghasilan di kota dengan cara mengemis. Sedangkan di sisi lain, prinsipnya adalah
penanggulangan yaitu di tempat tujuan (di Kota Makassar). Gepeng yang
beroperasi di empat kota tersebut “harus” ditanggulangi atau ditangani sehingga
mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena tidak akan
memperoleh penghasilan lagi.