Hari Galungan
Galungan Diambil dari bahasa Jawa Kuna yang berarti
bertarung. Biasa disebut juga “dungulan” yang artinya menang. Perbedaan
penyebutan Wuku Galungan (di Jawa) dengan Wuku Dungulan (di Bali) adalah sama
artinya, yakni wuku yang kesebelas. Hari raya Galungan memiliki makna
kemenangan Dharma (Kebenaran) melawan Adharma (Ketidakbenaran), jatuh setiap
210 hari sekali tepatnya pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan (kalender Bali).
Perayaan hari raya Galungan identik dengan pemasangan penjor di tepi jalan di
depan setiap rumah. Sehingga membuat suasana modern terlihat alami dan
indah. 10 hari setelah perayaan hari raya Galungan akan diikuti oleh hari raya
Kuningan.
Penjor adalah hiasan yang terbuat dari bambu dan
dihias sedemikian rupa sesuai dengan tradisi masyarakat Bali setempat. Penjor
yang terpasang di tepi jalan (setiap rumah) itu sendiri merupakan haturan ke
hadapan Sang hyang Widhi Wasa (Tuhan YME).
Arti dari kata Galungan sendiri berasal dari Jawa
Kuno yang berarti bertarung, atau biasa disebut dengan Dungulan yang berarti
menang. Sedangkan perbedaan penyebutan wuku Galungan (Jawa) dan wuku Dungulan
(Bali) adalah sama artinya, yaitu menang.
Makna Filosofis Galungan
adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat
pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah
wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu
(byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar
Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat
Sugihan Jawa dan Bali
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.
Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang
disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan
badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan
menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti
kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan. Pada Redite
(minggu) Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun
mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana,
artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan.
Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu
suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Galungan identik dengan penjor
Penjor merupakan salah satu sarana upakara
dalam hari Raya Galungan. Penjor adalah simbol dari naga basukih, dimana
Basukih berarti kesejahteraan dan kemakmuran. Maka dari itu bahan-bahan untuk
penjor banyak berasal dari hasil pertanian, seperti plawa (daun-daunan),
palawija (biji-bijian seperti padai atau jagung), pala bungkah (umbi-umbian),
pala gantung (kelapa, pisang, mentimun). Keberadaan bahan-bahan pembuat penjor
tersebut tentu memiliki arti dan filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar
Tutur Dewi Tapini menyebutkan :
“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha”
Artinya : Wahai kamu orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan
yadnya, agar kalian mengerti proses menjadi kedewataan, maka dari itu sang
Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi
sarinya dari jagat raya, agar dari dewa semua kembali kepada hyang widhi, widhi
widhana (ritualnya) bertujuan agar sang Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya,
Hyang Siwa menjadi Bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi windu (titik O), sang hyang
parama siwa menjadi nadha (kecek), yang mana kesemuanya ini merupakan simbol
dari Ong Kara.
“Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala (buah-buahan), Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan (bambu & jajanan), Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading ( janur kuning), Hyang Sangkara Meraga Phalem (buah pala), Hyang Sri Dewi Meraga Pari (padi), Hyang Sambu Meraga Isepan (tebu), Hyang Mahesora Meraga Biting (semat).”
Penyajan Galungan
Jatuh pada hari Senin Pon Dungulan.Pada hari ini
orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan.Dalam lontar
disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." Pada hari
Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan.
Hari Kuningan
Hari kuningan merupakan hari suci agama Hindu yang
dirayakan setiap 6 bulan atau 210 hari sekali, dalam kalender Bali tepatnya
pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35
hari), 10 hari setelah hari raya Galungan. Hari Kuningan merupakan hari resepsi
bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya
ditujukan kepada para Deva dan Pitara agar turun melaksanakan pensucian serta
mukti, atau menikmati sesajen-sesajen yang dipersembahkan. Kemenangan dharma
atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah
diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya
diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan
keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu :
"Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika".
Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknyalah ia
dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus. Sarasamuccaya (sloka 564)
menyebutkan :
"Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan".
Artinya:
Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak
bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita
dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan.
Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian
dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri kita
Hari raya Kuningan adalah hari raya khusus, di mana
para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi
disuguhkan sesajen dalam upacara perpisahan untuk kembali ke stananya
masing-masing. Sedangkan di pedesaan ada beberapa Barong “ngelawang” beberapa
hari diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan / gambelan.
Penyelenggaaraan upacara Kuningan disyaratkan
supaya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong
ke barat. Ini di karenakan Pada Hari Raya Kuningan, Ida Sanghyang Widhi Wasa
memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00 sampai jam 12. Jadi di saat itu
sangat tepat kita datang menyerahkan diri kepada-Nya mohon perlindungan. Pada
hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen
sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat)
menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang
semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya.
Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan
sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada
kita semua.
Sarana upacara sebagai simbul kesemarakan,
kemeriahan terdiri dari berbagai macam jejahitan yang mempunyai simbolis
sebagai alat-alat perang yang diperadekan seperti tamiyang kolem, ter, ending,
wayang-wayang dan lain sejenisnya. Dalam Kuningan menggunakan upakara
sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki
lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam yang
mengingatkan manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan
diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas
oleh roda alam.
Oleh karena itu melalui perayaan ini umat
diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan
tujuan agama Hindu. Sedangkan endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang
paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti
(jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran.
Perayaan ini juga dimaksudkan agar umat selalu
ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widi Wasa dan mensyukuri
karunia-Nya. Melalui perayaan ini umat juga dituntut selalu ingat menyamabraya,
meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial. Selain itu, melalui rerahinan
umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi
alam semesta beserta isinya. Tujuan pelaksanaan upacara kuningan ini
adalah untuk memohon kesentosaan, kedirgayusan serta perlindungan dan tuntunan
lahir dan batin.